Kalau dihitung-hitung, saya udah
tiga bulan menjadi pengangguran, karena terakhir kali diwisuda waktu itu bulan November 2011. Sebenarnya saya tidak
officially pengangguran, karena punya penghasilan sampingan: dari ngajar,
bisnis Nu Skin, Menulis, Translator dan banyak lainnya. Saya berusaha untuk
tidak membiarkan masa-masa pengangguran saya ini tidak di-isi dengan kegiatan
yang bermanfaat dan berkualitas.
Pendek cerita, saya adalah anak
perempuan yang besar dengan kekangan. Tidak heran saya “cukup bandel” waktu
didunia perkuliahan, banyak sekali “peraturan rumah” yang terkadang saya
langgar demi memuaskan fase “ingin mengaktualisasikan diri” saat itu. Jujur,
sulit untuk mengerti bahwa orang tua
punya alasan untuk melakukan kekangan dan banyak peraturan, katanya ya, memang
beda-beda cara orangtua dalam mengekpresikan rasa sayang pada anaknya,
sekalipun itu dengan tindakan kekangan dan banyak peraturan. Hal ini membuat
saya sedikit kesal dan berkata pada diri “suatu saat kelak, aku akan pergi jauh-jauh dan melampiaskan juga
melepaskan segala ‘rasa hausku’ akan dunia ‘aktualisasi diri’ yang dulu aku
idam-idamkan”. Aku berencana dan berusaha bagaimana caranya agar
aku bisa jauh dari rumah, menjadi diriku sendiri, tanpa kekangan, tanpa
peraturan.
Apa yang terjadi justru berbeda. Aku berusaha untuk mencari pekerjaan,
sebagaimana layaknya seorang pengangguran lakukan. Semakin ingin jauh aku beranjak, semakin aku tidak menemukan apapun.
Semakin aku merasa bahwa dunia pekerjaan hanyalah mampu ‘menurunkan mental’
pejuang-pejuang di fase ini. Aku tentu tidak sendiri, bahwa berjuta-juta orang
diluar sana juga pasti mengalami masa-masa seperti ini. Kalau orang bilang sih “quarter
life crisis”.
Hampir empat bulan ini, aku tetap
berjuang untuk mendapatkan pekerjaan tetap. Sembari melakukan kegiatan ‘cari
uang tambahan’, aku juga menemani ibuku dirumah, hampir setiap hari. Kadang
membantu ibu menjaga keponakan-ku, membersihkan rumah setiap hari, dan itu-itu
saja. Sejenak aku sadar, bahwa hari-hariku hanya berdua dengan ibu. Aku semakin
berfikir, apakah aku siap untuk pergi jauh. Apakah aku juga di-ijinkan untuk
pergi jauh. Lalu nanti bagaimana dengan Ibu? Siapakaah yang menjaganya?
Menemaninya dirumah? Berhubung Ibu memiliki banyak penyakit beserta komplikasi
di dalam tubuhnya. Aku semakin tidak yakin untuk mampu pergi jauh, sesuai
dengan apa yang kuinginkan sejak dulu.
Kala itu, aku dengar Ayahku
berbicara dengan Ibu, lalu katanya “kok semenjak umurku masuk ke angka 60, aku
merasa badanku cepat sekali merasa lelah, mudah terserang penyakit ya? Apa karena
factor umurku ini?”. Aku merasa terpukul. Aku bukanklah anak perempuan yang
dekat dengan Ayah, tapi aku semakin menyadari, bahwa dia semakin tua. Keduanya
semakin tua, yang kadang aku bisa lupa, karena focus akan inginku sendiri,
kepuasan hidup yang kutunggu-tunggu sejak dulu.
Beberapa kejadian dan kebersamaan
yang semakin sering dirumah karena menjadi seorang pengangguran membuat aku
berfikir, bahwa masa depan bukan soal kepuasan ingin menjadi apa tanpa melihat kedua
orangtua yang sesungguhnya semakin membutuhkan anak-anak disampingnya. Sejenak
aku merasa tertusuk oleh segala rasa ego yang aku bangun tinggi hingga saat
ini, jatuh, runtuh- se runtuh runtuhnya. Segala keinginan untuk pergi jauh,
segala keinginan untuk memuaskan ‘keinginan aktualisasi diri’ hilang dalam
sekejap. Tidak munafik jika dulu kuakui bahwa “toh oranguaku akan mengerti”, “memang
hidup akan seperti ini, anak sudah besar, bekerja, dan meninggalkan orangtua”
manjadi hal wajar didalam kepalaku, tapi aku salah.
Aku semakin takut untuk pergi
jauh. Aku semakin ragu untuk meninggalkan mereka dan mengejar segala
mimpi-mimpiku. Suatu ketika aku
berbicara kepada diri “bagaimana jika ego kali ini kita buang saja jauh-jauh?”
Dan aku hanya bisa tertegun. Bahwa semua ego-ku bisa kalah dengan apa yang baru
aku sadari. Aku mengerti bagaimana rasanya sepi. Aku mengerti bagaimana rasanya
sendiri. Dan kau tau? Berat untukku jika mereka harus merasakan hal yang sama.
Banyak hal yang kita anggap “sudah biasa”. Banyak hal
yang kita anggap “memang fase kehidupan akan begitu, dan selalu begitu”. Tapi
sebenarnya, tidak. Hidup ini memang tentang prioritas, bukan? Hanya saja
prioritas kita juga berbeda-beda. Menjadi pengangguran beberapa bulan ini
membuka banyak sekali sisi pandang yang belum pernah terpikirkan olehku sebelumnya.
Bahwa hidup terkadang tentang sebuah rasa ”ingin di-ingat dan diperhatikan”.
Mungkin, Tuhan dengan sengaja menghambat semua jalanku untuk membuka mata akan
persepsiku yang masih salah. Bisa saja. Bisa juga dengan kamu yang mungkin
sempat berfikiran hal yang sama. Semoga, apa yang aku simpulkan dari apa yang
sudah aku alami bebrapa bulan ini dapat mencerahkan jalan kalian yang sedang
membaca. Atau mungkin, kisah ini hanya milikku saja. Setidaknya, aku sudah
berbagi.
Untuk kalian yang sedang membaca
ini dan merantau jauh dari orangtua, jangan lupa untuk berkabar setiap hari. Setidaknya,
ucapkan selamat pagi. Sampai jumpa di makna-makna pengangguran berikutnya! Eh, tahun
ini kan pasti kerja kantoran :P
Comments
Post a Comment