Program Studi Sarjana Keperawatan
tentunya berbeda-beda disetiap universitas, kala itu, tahun saya memakai sitem
KBK, dimana kami belajar terlebih dahulu selama 4 tahun, lalu lanjut 1 tahun
untuk praktik dilapangan, seperti: dirumah sakit umum pusat, dirumah sakit umum
daerah, rumah sakit jiwa, puskesmas, dan terjun langsung ke masyarakat-
dilingkungan mereka.
Untuk pertama kalinya, September
2016 saya menginjakkan kaki kerumah sakit dan terjun langsung ke masyarakat.
Waktu itu, kami di acak, kisaran 100 –an mahasiswa dan mendapatkan “wilayah
pertama” yang berbeda-beda. Tentunya, kami semua sudah di-orientasikan terlebih
dahulu.
Saya mendapatkan RSJ, Rumah Sakit
Jiwa. Yey! Waktu itu rasanya senang, karena ini stase yang banyak disukai
mahasiswa profesi ners, dari kata senior-senior yang sudah lewat sih begitu.
Karena memang tenaga yang dikeluarkan tentu tidak sebanyak tenaga yang
dikeluarkan jika dinas dirumah sakit umum daerah maupun rumah sakit umum pusat.
Pembagian ruangan pun dimulai, Rumah
Sakit Jiwa ini milik pemerintah, dan ternyata ada juga pembagian antara ruangan
bangsal (kelas III), dan kelas I juga kelas II. Tebak saya dimana? Kelas Satu!
Awalnya gagok dong ya, gagok itu
bahasa apa? Kurang lebih “gatau apa-apa” ya gitu deh. Karena masih pertama kali
menginjakkan kaki ketemu langsung sama pasien dengan gangguan jiwa. Sekarang
tidak boleh disebut dengan “orang gila”, tapi “orang dengan gangguan jiwa,
ODGJ” karena bahasa yang digunakan lebih sopan dan layak.
Untuk pertama kalinya juga saya
dan teman-teman bertatap muka dengan ODGJ, takut ga? Ya jelas takut dong.
Pemikiran kita masih sama dengan pemikiran awam lainnya, takut menghadapi ODGJ,
takut di apa-apain, kalau orang bilang. Karena kita datang waktu jam
bersih-bersih, nah kita jadi bantuin bersih-bersih juga. Berhubung saya di kelas
I, kita beda sama ruangan lainnya. Menurut pandangan saya ya, dari apa yang
saya lihat dan cerita teman-teman, sebab itu saya mengatakan yang saya rasakan
berbeda. Kalau saya kemarin di kelas I, setiap kamar itu berisikan dua orang
saja, tentunya kamar lelaki dan perempuan berbeda. Waktu itu, diruangan saya
kebanyakan pria (9 Orang) dibandingkan dengan wanita (4 Orang). Tempat tidur
yang digunakan jelas berbeda juga, mereka menggunakan kasur yang lebih empuk
dan nyaman, walau tidak semua sih, hanya beberapa saja, sisanya memakai tempat
tidur single bed yang bahannya terbuat dari besi, dan menggunakan tambahan
kasur dibagian atasnya (semoga teman-teman mampu membayangkan kasur yang saya
maksud ya).
(ini nih, kurang lebih tempat tidur yang saya maksud)// sumber pict: Google
ODGJ dikelas I ini jarang bekerja
di pagi hari, kebanyakan sih pegawai yang membantu membersihkan ruangan mereka,
hanya yang cukup kooperatif saja yang diajak untuk melakukan pembersihan.
Harumnya bagaimana? Uh, semerbak! Kebanyakan ruangan akan berbau pesing, tidak
semua ODGJ sudah mampu melaksanakan BAB maupun BAK dengan baik, bahkan di jaman
saya dinas dulu, ada satu orang pasien dengan obesitas yang malas kekamar
mandi, BAK dilakukan ditempat tidur, karena keseringan, akhirnya dia tidur
tidak memakai kasur, karena kasur pasti akan basah terkena air seni-nya.
Hampir 60% ODGJ diruangan saya
belum kooperatif. Diajak berbicara masih ngawur, saya Tanya A maka dia akan
jawab C. Tidak sedikit juga kita bertemu ODGJ dan percaya, beberapa dari
mereka, sangat pandai berimajinasi dan mengarang cerita.
Tentunya umur yang dirawat
diruangan saya bervariasi, paling muda kisaran umur 28, bahkan yang tertua
sudah menginjak umur 60 tahun. Faktor yang membuat mereka akhirnya harus dirawat di RSJ tentu
banyak sekali, masalah keluarga, kekerasan, obat-obatan, stress, depresi, yang
akhirnya tidak terbendung dan membuat mereka kehilangan “batas normal” dalam
segala hal.
Hampir seluruh ODGJ terdiagnosa
“Defisit Perawatan Diri”. Mereka semakin malas mandi, bahkan menjaga kebersihan
sudah tidak menjadi pokok utama. Jika tidak diingatkan untuk mandi, mereka
tahan untuk tidak mandi berhari-hari. Saya waktu itu pernah ditugaskan untuk
mendampingi seorang wanita untuk membersihkan diri, mengajari dari cara
mengambil air dan membasahi badan, menyabuni diri dari atas sampai bawa, hingga
pengeringan badan sampai memberikan baju untuk dipakai. Tidak semua ODGJ mampu
melakukan perawatan dasar ini.
Kadang ada pertayaan yang muncul,
sebenarnya ODGJ itu bisa sembuh total tidak? Jawabannya, Tidak (sepengetahuan
saya, tidak. Saya belum melakukan mencari penelitian selanjutnya tentang ini).
ODGJ tidak mampu sembuh total, tahap akhir paling baik yang mampu mereka capai
adalah “Kooperatif”. Dimana mereka sudah mampu melakukan kegiatan manusia
biasanya, mampu membersihkan diri, melakukan pembersihan ruangan, beraktivitas
seperti biasanya, namun harus mengkonsumsi obat-obatan seumur hidupnya (selama
dinas, yang saya lihat setiap pasien memang akan selalu mengkonsumsi obat
setiap harinya).
Masalah ODGJ itu bermacam-macam,
ada yang terkena halusinasi, nah halusinasi ini terbagi lagi: halusinasi
pendengaran, penglihatan, pengecapan, penghidu, dan peraba. Kebanyakan yang
berada di Rumah Sakit Jiwa adalah halusinasi penglihatan dan pendengaran. Tidak
jarang dalam satu orang sudah terkena keduanya, Halusinasi pendengaran dan
penglihatan. Ada juga diagnosa Perilaku Kekerasan, kebanyakan yang mengidap
diagnosa ini adalah mereka yang mengkonsumsi obat-obatan, mereka akan melakukan
apa saja untuk mendapatkan obat mereka kembali, hal ini terjadi karena mereka sudah
terkena narkotika yang bersifat adiktif. Ada juga waham. Kalau waham ini, ODGJ
akan merasa dirinya bermacam-macam. Ada yang
mengakui bahwa dia pemuka agama. Ada juga yang bilang dia sudah
berkeluarga dan punya anak (setelah di cek di riwayat, ternyata statusnya masih
single). Tidak sedikit juga yang mengaku
orang paling kaya, presiden, dan anggota DPR. Beberapa asumsi mengatakan,
mereka seperti itu dikarenakan gagal menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Waktu
itu, saya juga bertemu seorang perempuan, ternyata dia penderita Bipolar. Beliau
sudah berkeluarga, memiliki suami dan seorang anak. ODGJ masuk kerumah sakit
jiwa hanya ketika “penyakit” mereka mengalami kekambuhan, hal ini terjadi
dikarenakan malasnya pasien mengkonsumsi obat secara rutin.
ECT atau elektro convulsive
therapy adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita, baik kejang tonik maupun kejang klonik.
Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang
ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang.
Saat dinas di RSJ, saya
menyaksikan ECT ini lebih dari tiga kali, dengan orang yang berbeda. Waktu itu
Tiga-tiganya berasal dari ruangan tempat saya dinas. Dua orang laki-laki dan 1
orang perempuan. Mereka diberikan terapi karena perubahan yang belum terlihat.
Waktu itu, seorang wanita, bahkan sudah diberikan terapi obat juga tidak ada
perubahan, biasanya, juga berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, mereka akan
memberikan hasil yang lebih baik setelah dilakukannya ECT. Untuk yang tidak
tahan, pastinya akan menakutkan. Karena ODGJ akan mengalami kejang sedang,
sehingga perlu ditahan dibagian tangan, paha juga kaki. Tentunya mulut juga diberikan penghalang seperti busa
agak keras agar tidak terjadinya cidera lidah yang tergigit.
sumber pict: Google
Hal yang memuaskan bagi perawat
jika pasien ODGJ mampu sampai ke tahap
kooperatif. Biasanya, ODGJ yang kooperatif akan membantu perawat dan pegawai
lainnya dalam mengayomi ODGJ yang masih dalam proses pengobatan. Bisa dibilang
istilahnya “satpam” diruang masing-masing. Yang kooperatif tentunya sudah
diperbolehkan keluar ruangan dan memantau namun hanya sebatas Rumah Sakit Jiwa,
sisanya yang masih belum kooperatif akan dijaga didalam bangsal dengan pintu yang
terkunci, berhubung masih banyak kasus ODGJ yang melarikan diri padahal
pengobatan yang dilakukan belum selesai penuh.
Terakhir, sebelum dinas berakhir
kami melakukan TAK, Terapi Aktivitas Kelompok. Waktu itu difokuskan hanya
kepada pasien yang mengalami halusinasi
pendengaran, pelatihan kepada para pasien untuk mempu membedakan suara mana
yang nyata, dan suara mana yang palsu. TAK yang kami lakukan seperti
bisik-berbisik, kata yang dibisikkan orang pertama harus sama dengan kata yang
diterima oleh oang terakhir sebagai hasil bahwa pasien mampu membedakan suara
yang nyata. Tentunya ada reward yang diberikan kepada mereka, dan beberapa
makanan ringan untuk dibagi bersama.
Tiga mingggu yang penuh dengan
cerita membuat kami, terutama saya banyak belajar, tentang ODGJ. Dulu yang
parno banget dan takut sama ODGJ, sekarang sudah biasa saja. ODGJ tidak akan
mengganggu jika tidak diganggu. Hal-hal ini juga saya bagi dengan teman yang
awam, agar persepsi yang salah tentang ODGJ dapat diubah. Penggunaan kata “orang
gila” sudah selayaknya dipanggil dengan ODGJ. Karena kita tidak akan pernah
tahu dan mengerti, jika tidak dicari tahu. Be Curious!
Kira-kira, cerita selanjutnya
berada di stase mana ya?
Comments
Post a Comment