Cinta sejati selalu mempunyai
defenisinya masing-masing. Aku, kamu, bahkan siapapun diluar sana yang
berbicara tentang cinta akan mendefenisikan cinta sejati dengan “versi” yang
mereka rasa memang “layak” dijadikan sebuah defenisi. Mengarungi waktu yang
tidak sebentar denganmu membuatku memupuk terlalu banyak rasa dan cita. Sebuah
mimpi yang sebenarnya aku tak tahu akan menjadi nyata atau malah hanya sebuah
hampa. Walau kadang cintaku ini hanya ada di dalam diam semata.
Terkadang, aku memilih untuk
memungkiri bahwa aku akan menunggu. Meneriaki hatiku dengan lantam agar dia tahu
bahwa dia tak layak untuk itu. Sebuah rasa yang masih kabur hingga saat ini belum menemukan titik kejelasan. Walau
ada yang bilang firasat akan selalu berkata benar karena alam bawah sadar kita
yang mungkin hingga sekarang saling berghubungan.
Tak kupungkiri aku selalu
mengagumimu dalam diammu, juga diamku. Membiarkanmu dengan tingkah unikmu yang
akan selalu menjadi pusat perhatian lirikan dari mataku. Hingga suatu hari aku
sempat menyadari diriku telah menyerap beberapa kebiasaan mu yang telah tersimpan
rapi di memori kepalaku yang bahkan aku sendiri juga tidak tahu bagaimana cara
untuk membuangnya jauh.
Aku belajar bahwa cinta memang harus
diperjuangkan. Memberikan beberapa tanda dan sinyal yang memang seharusnya aku
berikan. Bukan-kah kami sebagai wanita bekerja seperti itu? Dengan sinyal yang
kabur-kabur-jelas menandakan bahwa kami menginginkan kalian sang lelaki untuk datang.
Tapi apalah daya ketika kamu mengetahui namun tak berbuat apa-apa. Suatu kali
aku memutuskan untuk meninggalkanmu jauh, membuang segala rasa dan cita yang
telah kupupuk dalam diam. Hingga sekarang aku hampir saja menuai apa yang telah
aku tanam dengan kasih dalam diam.
Sama seperti jari tertusuk jarum
jahit yang mungkin rasanya memang sakit, walau bebrapa hanya mengatakan seperti
di-gigit oleh semut kecil. Seperti hal-nya hatiku yang tertusuk jarum jahit,
tidak sakit, hanya berdarah. Melukai rasa yang aku simpan sudah sejak lama.
Menimbun segala sinyal yang telah kusampaikan lewat asa dan doa. Sebuah harapan
yang sudah kupupuk sejak lama, namun apalah daya ketika kamu memilih untuk
tidak bergerak dan melihatku melakukan apa yang ingin aku lakukan.
Bukankah hatimu terketuk untuk
masuk kehatiku? Meributkan diam yang selama ini aku padamkan. Menarik dan
mengikat erat segala sinyal yang telah kukirimkan lewat asa dan doa. Mulai
memupuk timbunanku dengan timbunanmu agar semakin hangat dan tebal. Menciptakan
sebuah tumpukan mesra berbalas rindu yang terpendam. Tapi tidak, karena kamu
memilih diam dan melihat. Aku tak pernah perduli, karena aku memutuskan untuk
pergi. Membuang segala sinyal dan tumpukan rasa dan cita yang sepertinya hanya
akan menjadi sebuah hampa, tanpa rasa, tanpa daya. Kiranya kelak kita berjumpa,
kau dan aku sudah tak saling berharap jua.
Comments
Post a Comment